- Tentang apa yang dimaksud budaya, Wikipedia menjelaskan demikian :
Budaya
atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang
merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai
hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Budaya adalah suatu
cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok
orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari
banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat
istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni.
Berdasarkan
wujudnya, kebudayaan dapat digolongkan atas dua komponen utama:
kebudayaan material dan nonmaterial. Kebudayaan material mengacu pada
semua ciptaan masyarakat yang nyata, konkret. Termasuk dalam kebudayaan
material ini adalah temuan-temuan yang dihasilkan dari suatu penggalian
arkeologi: mangkuk tanah liat, perhisalan, senjata, dan seterusnya.
Kebudayaan material juga mencakup barang-barang, seperti televisi,
pesawat terbang, stadion olahraga, pakaian, gedung pencakar langit, dan
mesin cuci. Kebudayaan nonmaterial adalah ciptaan-ciptaan abstrak yang
diwariskan dari generasi ke generasi, misalnya berupa dongeng, cerita
rakyat, dan lagu atau tarian tradisional (wikipedia).
- Adapun budaya Jawa Tengah mempunyai beberapa ciri yang salah satunya adalah menjunjung tinggi nilai harmoni :
Kebudayaan
Jawa mengutamakan keseimbangan, keselarasan, dan keserasian. Semua
unsur kehidupan harus harmonis, saling berdampingan, intinya semua harus
sesuai. Segala sesuatu yang menimbulkan ketidakcocokan harus dihindari,
kalau ada hal yang dapat mengganggu keharmonisan harus cepat
dibicarakan untuk dibetulkan agar dapat kembali harmonis dan cocok lagi.
Biasanya
yang menganggu keharmonisan adalah perilaku manusia, baik itu
perilaku manusia dengan manusia atau perilaku manusia dengan alam. Kalau
menyangkut perilaku manusia dengan alam yang membetulkan
ketidakharmonisan adalah pemimpin atau menjadi tanggungjawab pimpinan
masyarakat. Yang sulit apabila keseimbangan itu diganggu oleh perilaku
manusia dengan manusia sehingga menimbulkan konflik. Ketidakcocokan atau
rasa tidak suka adalah hal yang umum, namun untuk menghindari konflik,
umumnya rasa tidak cocok itu dipendam saja (Wikipedia bahasa Jawa).
Upaya
menjaga harmonisasi ini rupanya yang membuat kebanyakan orang Jawa
tidak suka konflik secara terbuka. Ciri ini -kalau memakai bahasa gaul-
“gue banget”. Sepertinya tidak sampai hati (ora tekan) kalau ada rasa
tidak puas, tidak cocok terus diteriakkan lugas ke orangnya apalagi
kalau di depan orang banyak atau forum. Untuk menyelesaikan konflik
rasanya lebih sreg kalau dibicarakan secara pribadi dulu ketimbang
langsung dibuka di forum dan diketahui orang banyak. Namun cara ini ada
kelemahannya, karena tidak mau berbicara terbuka, orang Jawa menjadi
lebih suka kasak kusuk atau menggerudel di belakang . Akibatnya, bukan
mencoba mengembalikan keseimbangan atau harmonisasi malah justru
memelihara ketidakharmonisan. Falsafah menjaga harmoni ini juga terlihat
dari gerak tari tradisional Jawa terutama yang merupakan karya para
raja Solo dan Yogya : halus, hati-hati, luwes, penuh perhitungan,
ekspresi gerak dan wajah penarinya begitu terjaga , anggun dan agung,
hampir tidak ada ekspresi spontan dan meledak-ledak. Bahkan konon untuk
menarikan tarian ini penarinya harus menjalani ritual atau laku batin
tertentu seperti puasa atau pantang.
Ciri atau
identitas lainnya dari budaya Jawa adalah keyakinan Kejawen. Kejawen
(Wikipedia) adalah kepercayaan yang hidup di suku Jawa. Kejawen pada
dasarnya bersumber dari kepercayaan Animisme yang dipengaruhi ajaran
Hindu dan Budha. Karena itulah suku Jawa umumnya dianggap sebagai suku
yang mempunyai kemampuan menjalani sinkretisme kepercayaan, semua budaya
luar diserap dan ditafsirkan menurut nilai-nilai Jawa.
- beberapa jenis kesenian jawa tengah
Tarian
merupakan bagian yang menyertai perkembangan pusat baru ini. Ternyata
pada masa kerajaan dulu tari mencapai tingkat estetis yang tinggi. Jika
dalam lingkungan rakyat tarian bersifat spontan dan sederhana, maka
dalam lingkungan istana tarian mempunyai standar, rumit, halus, dan
simbolis. Jika ditinjau dari aspek gerak, maka pengaruh tari India yang
terdapat pada tari-tarian istana Jawa terletak pada posisi tangan.
Tarian
yang terkenal ciptaan para raja, khususnya di Jawa, adalah bentuk
teater tari seperti wayang wong dan bedhaya ketawang. Dua tarian ini
merupakan pusaka raja Jawa. Bedhaya Ketawang adalah tarian yang dicipta
oleh raja Mataram ketiga, Sultan Agung dengan berlatarbelakang
percintaan antara raja Mataram pertama dengan Kangjeng Ratu Kidul.
- beberapa jenis tarian dari provinsi jawa tengah :
* Tari Serimpi, sebuah tarian keraton pada masa silam dengan suasana lembut, agung dan menawan.
*
Tari Blambangan Cakil, mengisahkan perjuangan Srikandi melawan Buto
Cakil (raksasa). Sebuah perlambang penumpasan angkara murka.
masih banyak kesenian di provinsi jawa tengah yaitu :
* WAYANG KULIT
Kesenian
wayang dalam bentuknya yang asli timbul sebelum kebudayaan Hindu masuk
di Indonesia dan mulai berkembang pada jaman Hindu Jawa. Pertunjukan
Kesenian wayang adalah merupakan sisa-sisa upacara keagamaan orang Jawa
yaitu sisa-sisa dari kepercayaan animisme dan dinamisme.
Menurut
Kitab Centini, tentang asal-usul wayang Purwa disebutkan bahwa kesenian
wayang, mula-mula sekali diciptakan oleh Raja Jayabaya dari Kerajaan
Kediri. Pada abad ke 10 Raja Jayabaya berusaha menciptakan gambaran dari
roh leluhurnya dan digoreskan di atas daun lontar. Bentuk gambaran
wayang tersebut ditiru dari gambaran relief cerita Ramayana pada Candi
Penataran di Blitar. Ceritera Ramayana sangat menarik perhatiannya
karena Jayabaya termasuk penyembah Dewa Wisnu yang setia, bahkan oleh
masyarakat dianggap sebagai penjelmaan atau titisan Batara Wisnu. Figur
tokoh yang digambarkan untuk pertama kali adalah Batara Guru yaitu
perwujudan dari Dewa Wisnu.
* KETOPRAK
Ketoprak
termasuk salah satu kesenian rakyat di Jawa tengah, tetapi juga bisa
ditemui di Jawa bagian timur. Ketoprak sudah menyatu menjadi budaya
masyarakat Jawa tengah. ketoprak adalah sejenis seni pentas yang berasal
dari Jawa. Dalam sebuah pentasan ketoprak, sandiwara yang diselingi
dengan lagu-lagu Jawa, yang diiringi dengan gamelan disajikan.
Tema
cerita dalam sebuah pertunjukan ketoprak bermacam-macam. Biasanya
diambil dari cerita legenda atau sejarah Jawa. sesudah itu pagelaran
Ketoprak semakin lama makin jadi bagus dan menjadi idola masyarakat,
terutama di tanah Yogyakarta. didalam Pagelaran Ketoprak jadi lengkap
dengan memakai cerita dan juga diiringi musik gamelan.
- Analisis:
kebudayaan jawa
tengah sebetulnya masih sedikit kental dikalangan daerah yogyakarta
namun tidak banyak masyarakat jawa yang mengetahui kebudayaannya
sendiri, ada istilah mengatakan "wong jawa ilang jawane" ,Orang
Jawa hilang Jawanya bisa diartikan orang Jawa hilang sifat-sifat orang
Jawa atau hilang tata cara kebudayaan Jawanya, atau orang Jawa tidak
mampu lagi menterjemahkan simbol-simbol yang tersembunyi dalam tata cara
budaya Jawa. Kebudayaan itu sendiri merupakan kata yang jangkauannya
sangat luas, bukan sekedar hanya Kesenian (pada umumnya masyarakat
mengartikan Kebudayaan dalam ruang dipersempit hanya sebatas Kesenian).
Kebudayaan meliputi cipta, rasa, karsa. Kesenian berfokus hanya pada
rasa, kebudayaan adalah totalitas manusia dalam cara menghadapi
kehidupan ini dengan segenap cipta, rasa dan karsanya.
Seperti
apa orang Jawa pada masa yang lalu secara totalitas menghadapi
kehidupan ini? Menurut pengertian saya, totalitas orang Jawa menghadapi
kehidupan ini bersumber pada keseimbangan atau harmoni. Keseimbangan
antara “jagad gede” dan “jagad cilik” atau “dunia besar” dan “dunia
kecil”. “Jagad gede” diartikan suatu kesimbangan hubungan antara manusia
dengan dunia diluar dirinya: manusia lainnya, bumi, maupun alam
semesta, dan Tuhannya. Sedangkan “jagat cilik” adalah keseimbangan
dengan sesuatu yang bergolak dalam diri manusia itu sendiri: antara baik
dan buruk, antara roh dan jasmani, antara alam bathin dan alam lahir,
antara yang gaib dan yang nyata.
Konsep
keseimbangan dan harmoni ini dengan cipta, rasa dan karsa dituangkan
dalam bentuk kebudayaan yang sepenuhnya mengatur agar keseimbangan dan
harmoni ini tetap terjaga dalam masyarakat Jawa. Umumnya dalam bentuk
simbol-simbol dalam berbagai peristiwa budaya. Pada realitasnya,
kebudayaan Jawa penuh dengan simbol-simbol yang didalamnya terkandung
etika (pilihan baik dan buruk) didalamnya. Untuk bisa mengerti etika
Jawa, memerlukan suatu keahlian mengartikan simbol-simbol tertentu dalam
budaya Jawa. Tapi tujuan akhir dari etika Jawa adalah sangat jelas
tercermin dalam kata-kata “mamayu hayuning bawana” atau melestarikan
kesejahteraan dunia (alam semesta).
Jadi “wong
Jawa ilang Jawane” juga bisa diartikan kehilangan kemampuan orang Jawa
menterjemahkan simbol-simbol dalam tata cara budaya Jawa. Jadi
masyarakat hanya melihat segala sesuatunya dari sisi luarnya atau sisi
lahirnya saja, kurang mampu mengasah bahasa bathinnya, jadi tidak mampu
menterjemahkan simbol-simbol yang muncul kepermukaan sebagai terjemahan
dari bahasa etika agar bisa terjadi suatu keseimbangan dan harmoni baik
dalam masyarakat maupun dengan alam sekitarnya. Oleh karena apa yang
dilakukan justru sebaliknya, malahan menghancurkan/merusak keseimbangan
atau harmoni hubungan manusia dan manusia lainnya maupun hubungan
manusia dengan alam sekitarnya, bahkan merusak hubungan manusia dengan
Tuhannya.
Sebagai contoh: budaya wayang kulit yang
telah diakui oleh Unesco sebagai "Karya Agung Budaya Dunia" pada tahun
2003, didalamnya terdapat simbol-simbol etika Jawa. Kalau kita melihat
wayang kulit hanya sekedar boneka terbuat dari cerma (kulit dan tulang)
yang dimain-mainkan oleh sang dalang, meaningless, alias tidak punya
arti apa-apa.
Menyelami budaya wayang kulit sampai
kita mengerti makna simbol-simbol yang terkandung didalamnya adalah
suatu “challenge” atau suatu tantangan. Seberapa banyak orang Jawa
(Indonesia) saat ini mau menerima tantangan untuk mengerti budaya wayang
kulit dengan mempelajari kemudian menterjemahkan menjadi suatu ajaran
etika yang adhi luhung? Dalam Serat Centini Jilid 10 dikatakan bahwa:
Nonton wayang harus mengerti cerma (kulit dan tulang) dan cermin. Bukan
hanya cerma (kulit dan tulang) yang dilihat tapi cermin dari sari cerita
Ki Dalang.
Sedangkan budaya Jawa yang penuh
simbol-simbol bukan saja wayang kulit, masih banyak yang lainnya. Siapa
yang masih mau mempelajarinya? Apalagi menjalankannya dalam perbuatan
nyata.
Apakah perlu para anggota Badan Kehormatan
DPR belajar etika ke Yunani? Mau belajar Etika Barat yang telah
menghasilkan Eropa berabad-abad lamanya menjadi negara-negara penjajah?
Menghasilkan masyarakat Amerika Serikat yang pragmatis, cenderung ke
atheis? Kenapa tidak belajar etika saja ke Yogyakarta, belajar dengan Ki
Manteb Sudarsana, menterjemahkan cerita wayang kulit menjadi suatu
ajaran etika yang adhi luhung, asli budaya Jawa, asli budaya Indonesia.
Ini yang namanya “wong Jawa ilang Jawane” atau mungkin bisa diperluas
menjadi “orang Indonesia, hilang Indonesia-nya”.
Bagaimana
hubungan kerajaan Yogyakarta dengan simbol-simbol yang kurang mampu
ditangkap oleh pemimpin tertinggi di NKRI ini yang menafsirkan kerajaan
Yogyakarta sebagai simbol monarki (dalam realitasnya di DIY Yogyakarta
ada DPRD yang dipilih langsung oleh rakyat, dengan realitas ini saja
simbol monarki kerajaan Yogyakarta sudah terbantahkan dengan
sendirinya). Ini adalah pernyataan yang cenderung merusak keseimbangan
dan harmoni yang ingin dijaga dalam tata masyarakat Jawa, suatu simbol
bahwa orang Jawa sudah mulai hilang Jawanya.
- solusi agar kebudayaan kembali bangkit dan menarik dikalangan masyarakat
Boleh menghargai budaya luar tapi sebaiknya kita tidak melupakan kebudayaan dan adat istiadat budaya kita yaitu tata krama "tata kromo" seperti kata "mas" untuk sebutan seorang kakak dalam bahasa jawa jangan dihilangkan itu adalah sebagian dari adat istiadat dan tata krama, sopan santun kita sebagai mana warga indonesia dan budaya jawa, tetapi kebanyakan seperti contoh saudara saya sendiri yang menikah dengan orang asing akhirnya adiknya tidak ada sopan santunnya saat memanggil kakaknya , hanya menyebut namanya saja tidak dengan sebutan "mas" budaya ini yang semakin lama semakin hilang, jadi saran saya kita harus bisa bersikap tegas untuk terus menjunjung tinggi norma kesopanan.
sesungguhnya
masyarakat yogyakarta sudah mengantisipasi masalah seperti ini (kesenian yang mulai hilang atau tercemar karna adanya budaya asing)jadi
mmenurut pengamatan saya setelah saya membaca beberapa artikel mengenai
jawa tengah khususnya yogyakarta dan mengamati lingkungan kebudayaan
saya yang notabennya tidak murni indonesia, walaupun ada pengaruh dari
budaya luar masuk ke dalam kebudayaan jawa mereka malah menerimanya
dengan lapang dada dan malah mereka membuat seni baru lagi yang lebih
modern jadi bisa dibilang mereka memangaatkan unsur budaya luar dengan
cara penggabungan unsur dalam dan unsur luar ,terbukti banyak anak muda
tidak hanya di jawa tengah bahkan mancanegara yang ingin mempelajari
kebudayaan jawa tengah , faktanya saudara saya sendiri yang lahir dan
besar dibelanda juga jerman mereka bangga dengan kebudayaan yang
terdapat pada budaya yogyakarta, dan dia bangga dapat mempelajari budaya
jawa tengah. dan di belanda pun ada fakultas khusus budaya jawa. jadi
kesimpulan saya bahwa kebudayaan jawa telah bangkit dengan cara menerima
pengaruh budaya luar dan tidak hilang pula unsur kebudayaan kita malah
semakin kental dan bisa go internasional.
sumber :
http://juliefisipuns.blogspot.com/2011/05/tentang-budaya-jawa.htmlhttp://www.facebook.com/note.php?note_id=472817887565